Cakrabuana (atau nama lain
Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi
dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa,
penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu
Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau
Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka),
yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis)
yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan
Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua:
Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri)
Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri
(murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq,
ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian
Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada
ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming
pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok
Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang
dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh
Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren)
pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di
Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati
meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi
atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam
madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin,
penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak
keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa,
cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong,
salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman,
1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan
keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama
Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama
ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan
untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan
bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin
kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja
bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak
mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya
meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana
mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu
Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara
Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada
Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam,
Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi
orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai
tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan
tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru
itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari
kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang
kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian
penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan
terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng
Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar
Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak
dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai
dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir
Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda
sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang,
India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina
6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran
agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki
Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug
Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid
ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut
Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek
Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini,
pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan
pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran
Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan
rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara
Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir
pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan
Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah
merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang.
Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji
Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah
Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana
dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin
selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji
Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia
pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah
pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama
Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura
(Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran
Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan
kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman
pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana
membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut
diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti
berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan
Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara
Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara
Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru
di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi)
merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan;
Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon
dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda
atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna
Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini
jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika
dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang
memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama
Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki
Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang
dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi.
Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar
komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.